Tuesday, April 22, 2014
Oleh Darminto M Sudarmo - (dimuat di Jawa Pos 10 Maret 2014)
Di era teknologi tinggi (high tech) seperti saat ini, sudah selayaknya jika pemilu
elektronik dijadikan sebagai salah satu pilihan model untuk penyelenggaraan
pesta demokrasi di masa mendatang. Selain untuk mereduksi besarnya biaya
penyelenggaraan, juga untuk mengurangi terjadinya berbagai hambatan maupun penyimpangan.
Sistem pemilu elektronik
tersebut dibuat secara online untuk
seluruh Indonesia. Diharapkan ia dapat menjadi salah satu solusi yang logis
untuk menghindari silang sengkarut persoalan yang terjadi selama ini, sehingga
kehadirannya dapat mendorong terjadinya validitas penghitungan suara secara
cepat, akurat dan menyeluruh.
Benarkah pemilu dengan
sistem manual selama ini menuntut konsekuensi biaya sangat besar? Menurut
Komisi Pemilihan Umum, anggaran biaya pemilu 2014 berada di kisaran angka 14,4
triliun. Penggunaannya, untuk pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD; termasuk untuk
pemilihan presiden/wakil presiden.
Alokasi anggaran
keseluruhan, menurut Husni Kamil Manik, ketua KPU, sekitar Rp3,7 triliun
digunakan untuk pengadaan dan distribusi logistik pemilu; sekitar Rp2,4 triliun
untuk sosialisasi, fasilitas kampanye, akreditasi pemantau pemilu, updating data pemilih, pemungutan dan
penghitungan suara, rekapitulasi hasil pemilu, sumpah janji anggota DPR, DPD
dan DPRD serta pelaksanaan tahapan Pilpres putaran pertama dan kedua. Sementara
Rp8,3 triliun atau 57,59 % dari total anggaran digunakan untuk honorarium dan
biaya operasional para petugas di Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia
Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Dari seluruh jumlah
anggaran tersebut di atas tercapai angka 86,05%. Sisanya sebesar 13,95%
digunakan untuk anggaran dan operasional KPU Pusat.
Sebuah komposisi biaya
yang luar biasa. Bagaimana sistem pemilu elektronik memungkinkan terjadinya
penghematan biaya? Pertama, baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) dapat digunakan secara berulang-ulang (termasuk, untuk
mengakomodasi pilkada di berbagai daerah) tanpa beban pembiayaan rutin yang
sangat signifikan. Kedua, pemutakhiran (updating)
data peserta pemilu dapat dilakukan secara parsial, tanpa mengubah secara total
software inti. Ketiga, updating data pemilih, pemungutan dan
penghitungan suara, rekapitulasi hasil pemilu, dll dapat dieliminasi sehingga
komposisi biaya relatif lebih ramping dan efisien.
Pemilu elektronik juga
terhindar dari berbagai biaya rutin yang rentan risiko dan kerusakan. Cetak
kartu suara, pembuatan kotak suara, pengepakan, dan distribusi ke berbagai
lokasi di Indonesia yang rumit dan perlu pengawalan terus-menerus, bukanlah
prosesi sederhana dan berbiaya murah.
Hambatan pemilu sering
terjadi karena berbagai faktor, salah satu yang paling signifikan adalah metode
rekapitulasi suara yang dilakukan secara manual. Selain memakan waktu lebih
lama juga rentan kesalahan. Terbuka pula celah untuk dimanipulasi.
Sengketa tentang
validitas jumlah suara juga menjadi salah satu biang masalah laten dan terjadi
di mana-mana. Ini semua tak lepas dari motif pintas dan sesaat sebagaimana
disebutkan di atas; untuk itu, mereka kadang tak sungkan melakukan berbagai
penyimpangan. Dalam sistem pemilu elektronik, motif-motif semacam itu tak akan
terakomodasi karena data primer juga terakses secara nasional.
Casing
dan Hardware
Mengacu kotak kaca ATM
(anjungan tunai mandiri) yang efisien dan secure,
tersambung online secara nasional ke
pusat input data, maka pengecekan (crossing) jumlah suara yang masuk akan
dapat dirujuk secara cepat dan akurat. Sistem ini dapat menghindari berbagai
kemungkinan kecurangan (memanipulasi, mengurangi, menambah, menghilangkan)
jumlah suara yang masuk di masing-masing kontestan.
Casing
dan hardware pemilu elektronik dapat
disesuaikan baik desain maupun aplikasi tombolnya dengan kebutuhan praktis yang
memudahkan bagi pengguna. Atau dalam tampilan layar sentuh yang dapat dioperasikan
secara mudah. Tidak rumit baik bagi pengguna gaptek maupun yang sudah melek
teknologi.
Untuk memungkinkan
jaringan nasional tersambung secara valid dan lancar di berbagai lokasi yang
berbeda medannya, penyelenggara nasional perlu menggunakan satelit yang khusus
dioperasikan pada hari H penyelenggaraan seluruh Indonesia. Catu daya di daerah
yang belum memiliki jaringan listrik, menggunakan genset sesuai kapasitas; dan
itu dapat disewakan di kota terdekat dari lokasi TPS.
Bagi pemilih yang
bertempat tinggal di luar negeri, partisipasi “pencoblosan” dapat dilakukan
secara online lewat situs khusus yang
disediakan untuk pemilu elektronik tersebut. Sosialisasi system pemilu dapat
dilakukan lewat kedutaan besar di masing-masing Negara di mana warga Indonesia
berada.
Desain
dan Konsep Software
Indonesia memiliki tenaga-tenaga
IT andal dan berkualitas internasional. Mereka tentu akan dapat menciptakan
desain dan konsep software yang
efektif, efisien dan bebas gangguan dari para peretas (crakers – hackers) saat peng-input-an
data terjadi. Selain data terakses nasional ke pusat input data, setiap anjungan dari masing-masing TPS juga mem-back up data di hardisk lokal. Fungsinya sangat vital, selain untuk keperluan
verifikasi data, juga dapat menjadi bukti faktual data pertama yang solid dari
masing-masing TPS.
Selain profesionalitas
dan kecanggihan teknis yang dimiliki tim IT yang akan diberi tanggung jawab
menyelenggarakan proyek software dan hardware pemilu elektronik tersebut,
komitmen “kenegarawanan” dan nasionalisme mereka juga perlu diikat dalam
kontrak “Demi Kedaulatan dan Kehormatan Negeri” secara eksplisit. Lengkap punishment dan reward-nya. Kewajiban dan haknya.
Ikatan kontrak ini
sangat strategis kedudukannya, karena kelemahan IT selain pada faktor software-hardware juga pada soliditas
jaringan. Semua unit, semua unsur harus kompak dan padu. Akan sangat pedih
seandainya gangguan sampai terjadi pada saat berlangsung in putting data, karena pengulangan momentum adalah perkara yang
sangat tidak dapat ditoleransi, apa dan bagaimanapun alasannya. Kecuali
kondisi-kondisi luar biasa, seperti bencana alam dan sebagainya.
Kelemahan yang mungkin
terjadi dalam sistem ini adalah pada instalasi awal. Prosesnya cukup rumit dan
berbiaya lumayan besar, namun pada event-event
berikutnya, termasuk pelaksanaan pilkada, kebutuhan biayanya relatif kecil.
Sosialisasi dan
implementasi sistem di lapangan bukannya tak menemui hambatan, namun dengan
adanya penyuluhan dan pendampingan yang dilakukan jauh waktu sebelumnya, maka
tantangan itu bukannya tak dapat diatasi. Apalagi bila sistem ini diterapkan
pada tahun 2019, munculnya tambahan gelombang pemilih baru yang jumlahnya cukup
signifikan adalah generasi dan angkatan pemilih muda yang sudah pasti melek
teknologi.
Darminto M Sudarmo, wartawan senior;
darminto.ms@gmail.com