Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana
HIBURAN MENJELANG LEBARAN
ANTARA CINTA DAN BUKAN CINTA
Apakah telapak tanganmu berkeringat dan jantungmu berdetak cepat saat berada di dekatnya?
ITU BUKAN CINTA, ITU SUKA...
Apakah kamu tak bisa melepaskan pandangan atau genggaman dari dirinya?
ITU BUKAN CINTA, ITU NAFSU...
Apakah kamu mengatakan padanya bahwa setiap hari dialah satu2nya orang yang kamu pikirkan?
ITU BUKAN CINTA, ITU DUSTA..
Apakah kamu menerima segala kesalahannya dan kekuranganya karena itulah bagian dari dirinya?
BARULAH ITU CINTA...
Apakah kamu memaafkannya dan bersedia tetap bersamanya saat dia menyakitimu?
BARULAH ITU CINTA...
Apakah kamu tetap setia apapun yang terjadi baik saat gembira maupun sengsara?
BARULAH ITU CINTA...
(Berdasarkan posting: Wasito Djati Pribadi)
SALDO TINGGAL 1jt BISA AMBIL 4jt
Cara ini ditemukan dengan tidak sengaja 2 hari yg lalu oleh seorang teman...
=> masukkan kartu ATM anda ke mesin ATM.
=> masukkan kode pin anda.
=> Tekan tarik tunai.
=> Pilih nominal yg anda inginkan.
=> Kemudian mesin ATM akan mulai bunyi menghitung.
=> Nah pada saat mesin ATM menghitung tekan "enter" sebanyak yang anda inginkan uang yg akan keluar tetapi maksimal 4x saja.
Sebagai contoh: saat anda pertama kali pilih nominal 1 juta maka jika di enter 2x pada saat mesin sedang menghitung maka akan keluar 2jt. Jika di enter 3x maka akan keluar 3jt. Jika di enter 4x maka akan keluar 4jt.
Ini sudah dibuktikan teman dan berhasil DALAM MIMPINYA 2 hari yg lalu ...
(Berdasarkan posting: Ghuzilla Humeid)
PROYEK PALING SPEKTAKULAR
Menurut catatan Guiness Book of Record ada tiga proyek paling spektakuler di dunia:
1. Proyek Pembangunan Tembok Cina yang memakan waktu 573 tahun.
2. Proyek Pembangunan Pyramida Mesir yang dilakukan selama 730 thn
Tapi yang paling top adalah :
3. Proyek perbaikan Jalan Pantura menjelang mudik lebaran yang dilakukan sepanjang masa -- sampai kiamat.
(Berdasarkan posting: Wasito Djati Pribadi)
NASRUDDIN HOJA SEBAGAI PESURUH
Nasruddin Hoja pernah bekerja pada seorang saudagar yang kaya raya, tetapi seperti biasanya ia mendapatkan kesulitan dalam pekerjaannya. Suatu hari si majikan memanggilnya, lalu berkata.
“Nasruddin,“ katanya. “Kau ini sejatinya baik, sayangnya lamban sekali. Kamu tidak pernah mengerjakan satu pekerjaan selesai sekaligus. Kalau kau kusuruh beli tiga butir telor, kau tidak membelinya sekaligus. Kau pergi ke warung, kemudian kembali membawa satu telor, kemudian pergi lagi, balik lagi membawa satu telor lagi dan seterusnya, sehingga untuk membeli tiga butir telor saja kamu pergi ke warung tiga kali.”
“Maafkan saya, Tuan.” Sesal Nasruddin Hoja, “Saya berjanji tidak akan melakukannya sekali lagi. Seperti yang Tuan inginkan, saya akan mengerjakan sekaligus apa yang harus saya kerjakan supaya tidak mengulangi pekerjaan berkali-kali.”
Beberapa waktu kemudian sang majikan itu jatuh sakit. Ia pun menyuruh Nasruddin untuk memanggil dokter, Nasruddin segera bergegas pergi, tak berapa lama kemudian Nasruddin kembali, ternyata ia tidak hanya membawa seorang dokter tetapi juga beberapa orang lainnya.
“Dokter sudah datang, Tuan, dan yang lain-lain pun sudah datang juga.” Katanya ketika memasuki kamar si bos.
“Yang lain-lain siapa?” balas Tanya saudagar itu dengan heran. “Bukankah aku hanya mintamu untuk memanggil seorang dokter saja?”
“Begini Tuan!” jawab Nasruddin, “Dokter biasanya menyuruh kita minum obat, jadi saya membawa tukang obat sekalian. Dan tukang obat itu tentunya membuat obatnya dari bahan yang bermacam-macam dan saya juga membawa orang yang berjualan bahan obat-obatan. Saya juga membawa penjual arang, karena biasanya obat itu direbus dahulu, jadi kita memerlukan tukang arang. Dan mungkin juga Tuan tidak sembuh dan malah mati, jadi saya bawa sekalian tukang gali kuburan.”
(Berdasarkan posting: Sudi Purwono Baru)
NASRUDDIN HOJA SEBAGAI PENYELUNDUP
Ada kabar angin bahwa Nasruddin Hoja berprofesi juga sebagai penyelundup. Maka setiap melewati batas wilayah, penjaga gerbang menggeledah jubahnya yang berlapis-lapis dengan teliti. Tetapi tidak ada hal yang mencurigakan yang ditemukan. Karena untuk mengajar, mullah Nasruddin memang sering harus melintasi batas wilayah.
Suatu malam, salah seorang penjaga mendatangi rumahnya. "Aku tahu, Mullah, engkau penyelundup. Tapi aku menyerah, karena tidak pernah bisa menemukan barang selundupanmu. Sekarang, jawablah penasaranku; apa sih sebenarnya yang engkau selundupkan?"
"Jubah," kata Nasruddin.
(Berdasarkan posting: Sudi Purwono Baru)
BELGEDUWELBEH
M Djoko Yuwono |
Oleh Ki Jenggung
UPS, maaf, memakai judul aneh. Sejatinya Belgeduwelbeh itu nama seorang raja dalam cerita perwayangan. Raja ini berpostur tinggi, baik hati, welas-asih, lembut, tapi juga jenaka dan kerap naif. Semua keputusan yang diambilnya selalu aneh, tak tepat sasaran, membingungkan, dan yang lebih mengenaskan: tidak pernah efektif. Dia menikmati sekali kedudukannya sebagai raja sehingga gemar pamer dan bersenang-senang, menyanyi dengan mengundang pesinden terkenal.
Raja Belgeduwelbeh tak punya selera. Rasa seninya naif, cengeng, pun selera kulinernya rendahan. Kenapa semuanya terjadi? Ya, karena Raja Belgeduwelbeh berasal dari “kawula alit”, kasta rendahan, nama aslinya Petruk (di Jawa Barat namanya Dawala). Dia salah seorang dari empat punakawan pengawal titisan Wisnu, berbadan tinggi. Pikirannya lurus, memandang semua masalah dengan rasa humor tinggi, bijaksana, menjadi penasihat jempolan buat Sri Rama maupun Pandawa.
Namun, peran dia di dunia hanyalah punakawan, pelayan saja. Oleh karena itu, jangan diharapkan ada keputusan berani, bertanggung jawab, dan gesit muncul darinya. Semuanya serba normatif. Oleh sebab itu, ketika menjadi raja, dia jadi kehilangan kepribadian. Kedudukan itu tidak cocok untuk orang seperti dia, sebaik-baik apa pun. Semua punya fungsi dan peran masing-masing dari Yang Mahakuasa, tak bisa ditukar-tukar atau diakal-akali. Pasti ketahuan.
Celakanya, akibat negerinya sedang ribut gonjang-ganjing reformasi, semua tokoh kasta kesatria dan brahmana pada ribut cari kesempatan. Mereka lupa bahwa azimat berupa amanat rakyat kawula alit tertinggal. Maka, Petruk dengan lihainya mencuri azimat tersebut dengan bantuan asing, pengusaha besar, maling, perampok, serta para intel keblinger. Akhirnya, Belgeduwelbeh memang jadi raja, tapi dengan mentalitas kawula alit, pelayan, dan bukan kesatria yang gagah berani.
Akibat dari itu, Raja Belgeduwelbeh menjadi raja lemah, rentan terhadap tekanan, karena dia takut rahasianya terbongkar. Dia menjadi sandera, gampang dicekik lehernya untuk deal-deal politik-ekonomi-sosial. Maka dari itu, pemerintahan negeri Raja Belgeduwelbeh lemah sekali. Para pejabat seenaknya karena merasa raja toh tak mampu berbuat tegas. Arah pembangunan tidak jelas. Cadangan devisa kian menipis selama tiga tahun terakhir, walaupun pernah jaya di tahun 2007.
Parahnya lagi, aparat negara yang malas bekerja tapi rajin ngobyek, malah menggunakan para preman untuk operasionalnya. Mereka, di negeri yang lemah terhadap tekanan paham HAM asing, ketakutan untuk bergerak. Sebab, kalau mereka bersalah, Raja Belgeduwelbeh dipastikan cuci tangan.
Belum lama ini Raja Belgeduwelbeh minta bayangkara negeri menindak ormas yang melakukan tindak kekerasan. Sudah tiga kali ia mengatakan itu, keadaan tidak berubah. Jadi, itu hanya untuk konsumsi publik sesaat supaya rakyat merasa yakin dan percaya. Tapi, masa iya harus tiga kali bikin gertakan kosong seperti itu? Jangan sampai Raja Belgeduwelbeh malah jadi bahan tertawaan dunia dan rakyatnya. Raja juga lemah menghadapi tekanan asing, karena takut dijatuhkan. Pabrik mobil dalam negeri tak hidup sebab mobil digelontor dari luar negeri. Bahan, makanan saja semua harus diimpor, sebab pemerintahannya memang tidak mampu lagi. Ibaratnya: ayam mati di lumbung padi. Bahkan pula, lahan pertanian pun mulai dijual ke asing.
Azimat itu tampaknya mejan alias mandul. Sebab, berada di tangan orang yang salah di waktu yang keliru. Azimat itu secara faktual legal, tapi jelas tidak amanah karena banyak mendatangkan mudarat rakyat. Ini mungkin karena azimat itu “colongan”, tidak yang bersifat hak. Lantas? Si Raja Belgeduwelbeh bikin rakyat "dedel duwel kabeh". Oh!
Rame-rame Lelucon Ramadan dan Lain-lainnya
GODAAN PUASA
Udin, “Neneng istriku, puasa kali ini banyak banget godaannye deh.”
Neneng, “Masa iye Bang..apa aje??”
Udin, “Iye, Neng...kemaren abang ngojek bawa penumpang cewe bahenol banget...sambil tangannye nyikep pinggang abang....tapi abang singkirin...inget masih puasa..”
Neneng, “Alhamdulillah....”
Udin, “Di tengah jalan, tuh cewe minta turun sebentar, abang ngerem, eh tuh cewe malah mepet....abang maju aje, biar gak nyenggol....inget masih puasa...trus, jalan lagi. Nah pas di tanjakan, tuh cewe mau nyikep lagi....abang bilang aje, sori lagi puase...”
Neneng, “Hmmm...trus..trus.. bang...”
Udin, “Sampe rumahnye, abang disuruh mampir dan disuguhi air, abang kagak mau. Nah, di rumahnye ternyata sepi...katenye suaminye lagi ke luar kota.... Trus tuh cewe narik abang ke kamar.....”
Neng, “Trus abang masih inget kalo puasa?....”
Udin, “Nah, tuh die masalahnya Neng....pas diseret ke kamar....pas banget BEDUK MAGRIB....”
(Berdasarkan posting: Wasito Djati Pribadi)
ENAM PRESIDEN memang KKN
Sukarno : Kanan Kiri Nona2 cantik
Suharto : Kaya Karena Negara
Habibie : Kecil Kecil Nekat
Gus Dur: Kanan Kiri Nuntun
Mega : Kritik Kritik No comment
S B Y : Kena Kibul Nazaruddin
(Berdasarkan posting: Tris Sakeh)
DILARANG SELAMA PUASA
Perlu anda ketahui !!
Khususnya untuk Wanita ...
Bahwa ada Beberapa produk Mie yang tidak boleh dikonsumsi selama Bulan Puasa, di antaranya adalah :
- Mie kirin suami orang lain
- Mie jitin suami tetangga
- Mie ting berdua dengan suami orang lain
- Mie pisin kepala orang
- Mie lih2 baju utk lebaran tapi gak jadi beli, cuma ngacak2 doang
- Mie ndahin motor org dgn paksa ke rumah sendiri
- Mie sahin pasangan suami istri biar cerai
- Mie-nta cerai dan ingin kawin lagi dgn Ngkong2 yg udah peyot ...
SEMOGA SEMOGA SEMOGA
Semoga bulan ini penuh BBM (Bulan Barokah dan Maghfirah)
Mari kita PREMIUM (Prei Makan dan Minum)
Juga SOLAR (Sholat Lebih Rajin ), dan
Dan MINYAK TANAH (Meningkatkan Iman dan Banyak Tahan Nafsu Amarah)
Serta PERTAMAX (Perangi Tabiat Maksiat)
(Berdasarkan posting: Wasito Djati Pribadi)
KENAPA TUHAN TIDAK KUNJUNG MENOLONG?
Banjir melanda sebuah kota kecil. Semua penduduk lari mengungsi kecuali seorang lelaki penjaga rumah ibadah yang tetap bertahan.
Sebuah perahu penyelamat datang menjemputnya tapi lelaki itu menolak, “Terimakasih,” katanya, “Tuhan bersama saya, saya akan bertahan di sini.”
Hujan terus turun, banjir semakin tinggi, datang lah perahu kedua menjemput laki-laki yang kini duduk di atas atap rumah tapi lelaki itu menyahut, “Terimakasih,” katanya,“Saya masih mempunyai iman…”
Hujanpun turun semakin deras, permukaan air semakin tinggi, lalu datang lah perahu ketiga menjemput, kini lelaki yang hanya berpegangan erat pada tiang antene ini menyahut, “Saya masih punya iman,” katanya menolak dijemput.
Akhirnya banjir menyapu bangunan tersebut dan lelaki penjaga itu tewas terseret air bah.
Di akhirat lelaki yang nahas itu bertemu dengan malaikat. “Saya sudah sedemikian kokoh dengan iman saya, tapi kenapa Tuhan tak kunjung menolong?” protesnya.
“Tidak menolong bagaimana?” bantah si malaikat, “Bukankah Dia sudah mengirim tiga perahu penjemput?”
(Berdasarkan posting: Sudi Purwono)
TUHAN PUN MENJAWAB DOANYA
Seorang lelaki diberi tahu, bahwa ukuran yang digunakan Tuhan dan manusia itu sangat berbeda. Misalnya, waktu seribu tahun bagi manusia, bagi Tuhan hanyalah sedetik saja. Satu juta rupiah bagi manusia, bagi Tuhan hanyalah satu sen saja.
Penasaran dengan ini, akhirnya lelaki tadi berdoa dengan khidmat agar Tuhan memberi tahu soal ini.
“Ya, Tuhan, apakah betul seribu tahun bagi saya hanya satu detik bagiMU?” Tanya lelaki itu.
Tiba-tiba terdengar suara guntur dari langit dan suara yang menggelegar. “Ya, betul!”
“Aha!” seru lelaki tadi kegirangan, lalu ia melanjutkan lagi bertanya, “Apakah betul uang satu juta rupiah bagi kami, bagiMU hanya satu sen saja?”
Kembali awan bergemuruh, petir menyambar-sambar, lalu terdengar lagi suara dari langit, “Ya, betul, anakku!”
Sekarang, dengan sedikit berhati-hati lelaki tadi lantas berdoa, “Ya, Tuhan, berilah saya rejeki satu sen saja …..”
Dan Tuhan menjawab langsung, “Baik, tunggulah sedetik lagi!”
(Berdasarkan posting: Sudi Purwono)
HASTA BRATA versi PEMIMPIN SEMPRUL
• BUMI. Pemimpin harus memiliki sifat bumi yaitu lemah, lembek, tapi suka bikin gara-gara lewat gempa bumi yang tidak bermutu, bikin rakyat kacau seperti gabah ditampi.
• MATAHARI. Pemimpin itu harus menerangi rakyat sampai silau oleh pola pencitraannya yang berlebihan.
• BULAN. Pemimpin harus melankolis, suka lagu atau film cengeng favorit cewek remaja dan ibu rumah tangga yang menganggur selesai masak.
• BINTANG. Ia berkelip-kelip jauh di luar negeri, ketika situasi negerinya gonjang-ganjing, terutama jika dirinya akan dijadikan sasaran kritik atau merasa terancam.
• SAMUDERA. Sifatnya menggelora tidak pada tempatnya, sehingga sering membik-membik mau menangis di depan guru, veteran, dan mungkin juga para penghuni lapas.
• AIR. Dia harus mencuci tangan sesering mungkin supaya namanya tetap “harum” sebagai tokoh yang santun, lembut, welas-asih. Biarkan kesalahan itu menimpa punggawanya. Ini harus dilakukan dengan marah-marah di depan publik, supaya yakin benar dan rakyat tahu, walau rakyat sudah tahu sifatnya yang naif ini.
• ANGIN. Pemimpin menganggap kritik, saran, sebagai angin lalu, karena merasa dirinya seorang intelektual tak ada tolok-tandingnya di bumi, dan bergelar akademik banyak.
• API. Suka kebakaran jenggot, terutama bila merasa harga dirinya diserang, merasa akan dibunuh orang walaupun sekadar gambarnya dirusak orang jahil. Itu cukup untuk memedihkan hatinya yang lemah.
(Berdasarkan posting: M Djoko Yuwono)
Udin, “Neneng istriku, puasa kali ini banyak banget godaannye deh.”
Neneng, “Masa iye Bang..apa aje??”
Udin, “Iye, Neng...kemaren abang ngojek bawa penumpang cewe bahenol banget...sambil tangannye nyikep pinggang abang....tapi abang singkirin...inget masih puasa..”
Neneng, “Alhamdulillah....”
Udin, “Di tengah jalan, tuh cewe minta turun sebentar, abang ngerem, eh tuh cewe malah mepet....abang maju aje, biar gak nyenggol....inget masih puasa...trus, jalan lagi. Nah pas di tanjakan, tuh cewe mau nyikep lagi....abang bilang aje, sori lagi puase...”
Neneng, “Hmmm...trus..trus.. bang...”
Udin, “Sampe rumahnye, abang disuruh mampir dan disuguhi air, abang kagak mau. Nah, di rumahnye ternyata sepi...katenye suaminye lagi ke luar kota.... Trus tuh cewe narik abang ke kamar.....”
Neng, “Trus abang masih inget kalo puasa?....”
Udin, “Nah, tuh die masalahnya Neng....pas diseret ke kamar....pas banget BEDUK MAGRIB....”
(Berdasarkan posting: Wasito Djati Pribadi)
ENAM PRESIDEN memang KKN
Sukarno : Kanan Kiri Nona2 cantik
Suharto : Kaya Karena Negara
Habibie : Kecil Kecil Nekat
Gus Dur: Kanan Kiri Nuntun
Mega : Kritik Kritik No comment
S B Y : Kena Kibul Nazaruddin
(Berdasarkan posting: Tris Sakeh)
DILARANG SELAMA PUASA
Perlu anda ketahui !!
Khususnya untuk Wanita ...
Bahwa ada Beberapa produk Mie yang tidak boleh dikonsumsi selama Bulan Puasa, di antaranya adalah :
- Mie kirin suami orang lain
- Mie jitin suami tetangga
- Mie ting berdua dengan suami orang lain
- Mie pisin kepala orang
- Mie lih2 baju utk lebaran tapi gak jadi beli, cuma ngacak2 doang
- Mie ndahin motor org dgn paksa ke rumah sendiri
- Mie sahin pasangan suami istri biar cerai
- Mie-nta cerai dan ingin kawin lagi dgn Ngkong2 yg udah peyot ...
SEMOGA SEMOGA SEMOGA
Semoga bulan ini penuh BBM (Bulan Barokah dan Maghfirah)
Mari kita PREMIUM (Prei Makan dan Minum)
Juga SOLAR (Sholat Lebih Rajin ), dan
Dan MINYAK TANAH (Meningkatkan Iman dan Banyak Tahan Nafsu Amarah)
Serta PERTAMAX (Perangi Tabiat Maksiat)
(Berdasarkan posting: Wasito Djati Pribadi)
KENAPA TUHAN TIDAK KUNJUNG MENOLONG?
Banjir melanda sebuah kota kecil. Semua penduduk lari mengungsi kecuali seorang lelaki penjaga rumah ibadah yang tetap bertahan.
Sebuah perahu penyelamat datang menjemputnya tapi lelaki itu menolak, “Terimakasih,” katanya, “Tuhan bersama saya, saya akan bertahan di sini.”
Hujan terus turun, banjir semakin tinggi, datang lah perahu kedua menjemput laki-laki yang kini duduk di atas atap rumah tapi lelaki itu menyahut, “Terimakasih,” katanya,“Saya masih mempunyai iman…”
Hujanpun turun semakin deras, permukaan air semakin tinggi, lalu datang lah perahu ketiga menjemput, kini lelaki yang hanya berpegangan erat pada tiang antene ini menyahut, “Saya masih punya iman,” katanya menolak dijemput.
Akhirnya banjir menyapu bangunan tersebut dan lelaki penjaga itu tewas terseret air bah.
Di akhirat lelaki yang nahas itu bertemu dengan malaikat. “Saya sudah sedemikian kokoh dengan iman saya, tapi kenapa Tuhan tak kunjung menolong?” protesnya.
“Tidak menolong bagaimana?” bantah si malaikat, “Bukankah Dia sudah mengirim tiga perahu penjemput?”
(Berdasarkan posting: Sudi Purwono)
TUHAN PUN MENJAWAB DOANYA
Seorang lelaki diberi tahu, bahwa ukuran yang digunakan Tuhan dan manusia itu sangat berbeda. Misalnya, waktu seribu tahun bagi manusia, bagi Tuhan hanyalah sedetik saja. Satu juta rupiah bagi manusia, bagi Tuhan hanyalah satu sen saja.
Penasaran dengan ini, akhirnya lelaki tadi berdoa dengan khidmat agar Tuhan memberi tahu soal ini.
“Ya, Tuhan, apakah betul seribu tahun bagi saya hanya satu detik bagiMU?” Tanya lelaki itu.
Tiba-tiba terdengar suara guntur dari langit dan suara yang menggelegar. “Ya, betul!”
“Aha!” seru lelaki tadi kegirangan, lalu ia melanjutkan lagi bertanya, “Apakah betul uang satu juta rupiah bagi kami, bagiMU hanya satu sen saja?”
Kembali awan bergemuruh, petir menyambar-sambar, lalu terdengar lagi suara dari langit, “Ya, betul, anakku!”
Sekarang, dengan sedikit berhati-hati lelaki tadi lantas berdoa, “Ya, Tuhan, berilah saya rejeki satu sen saja …..”
Dan Tuhan menjawab langsung, “Baik, tunggulah sedetik lagi!”
(Berdasarkan posting: Sudi Purwono)
HASTA BRATA versi PEMIMPIN SEMPRUL
• BUMI. Pemimpin harus memiliki sifat bumi yaitu lemah, lembek, tapi suka bikin gara-gara lewat gempa bumi yang tidak bermutu, bikin rakyat kacau seperti gabah ditampi.
• MATAHARI. Pemimpin itu harus menerangi rakyat sampai silau oleh pola pencitraannya yang berlebihan.
• BULAN. Pemimpin harus melankolis, suka lagu atau film cengeng favorit cewek remaja dan ibu rumah tangga yang menganggur selesai masak.
• BINTANG. Ia berkelip-kelip jauh di luar negeri, ketika situasi negerinya gonjang-ganjing, terutama jika dirinya akan dijadikan sasaran kritik atau merasa terancam.
• SAMUDERA. Sifatnya menggelora tidak pada tempatnya, sehingga sering membik-membik mau menangis di depan guru, veteran, dan mungkin juga para penghuni lapas.
• AIR. Dia harus mencuci tangan sesering mungkin supaya namanya tetap “harum” sebagai tokoh yang santun, lembut, welas-asih. Biarkan kesalahan itu menimpa punggawanya. Ini harus dilakukan dengan marah-marah di depan publik, supaya yakin benar dan rakyat tahu, walau rakyat sudah tahu sifatnya yang naif ini.
• ANGIN. Pemimpin menganggap kritik, saran, sebagai angin lalu, karena merasa dirinya seorang intelektual tak ada tolok-tandingnya di bumi, dan bergelar akademik banyak.
• API. Suka kebakaran jenggot, terutama bila merasa harga dirinya diserang, merasa akan dibunuh orang walaupun sekadar gambarnya dirusak orang jahil. Itu cukup untuk memedihkan hatinya yang lemah.
(Berdasarkan posting: M Djoko Yuwono)
TES KEWARASAN RAJA
M Djoko Yuwono |
Oleh Ki Jenggung
KEJADIAN berikut ini, yang akan dituturkan secara jujur, harus diakui terus terang hanya terjadi di dunia khayalan. Jadi, tidak boleh dipercaya. Tapi, kalau pembaca nekat mengikutinya, silakan saja. Anda akan masuk dunia “kegilaan” yang mengasyikkan, yang senyatanya penyakit jiwa seperti itu sedang melanda rakyat serta para pemimpin satu negeri yang wilayahnya sangat besar, entah di mana.
Negeri itu akan memilih raja baru. Mereka bingung untuk mendefinisikan raja mendatang, sebab segala ukuran, norma, dan makna lama telah buyar, diganti kegilaan baru yang tentu saja absurd-absurd. Di era yang sudah sangat terbuka, di mana setan mana pun mampu berekspresi ke ruang publik, maka terjadi kejenuhan, stagnasi “drama” di pentas besar ini.
Untuk tetap eksis, maka orang harus dikenal publik yang semakin divergen, luas, sangat bervariasi, dan dengan populasi besar. Perjuangan mencapai atau mempertahankan eksistensi harus semakin kuat, seru—karena kejenuhan tadi. Jadi, untuk itu diperlukan daya tarik luar biasa. Segala upaya “normal” di masa lalu tidak laku di era yang sangat kontemporer. Maka, harus ada kegilaan yang berbeda dan memiliki daya tarik tinggi. Tidak soal bila upaya itu absurd total atau gila sempurna, yang penting publik melihat kita. Paling tidak sekadar menoleh untuk mencuri perhatian umum. Ini harus dilakukan kontinyu kalau tak ingin sekadar sekali lewat lantas hilang ditiup angin, gone with the wind. Menjadi orang waras atau biasa saja sudah tidak cukup agar bisa hidup senang, mudah, karena dengan menjadi terkenal maka orang mendapatkan fasilitas, mendapatkan hak istimewa. Bonusnya adalah kemewahan.
Oleh karena itu, diperlukan drama kasar berupa kehebohan-kehebohan, tak peduli melanggar norma budaya, tata pergaulan, bahkan norma paling sakral sekalipun, agama. Bahkan, agama di era ini sudah dijadikan alat untuk memunculkan diri, bukan untuk dijalankan dengan kepatuhan lama. Mereka sudah lancang untuk jadi “nabi” temporer yang berani menentukan bagaimana orang harus menjalankan ibadah untuk kepentingan eksistensinya.
Maka, kita menyaksikan tingkah laku gila yang tanpa segan dan malu mereka tampilkan di panggung publik itu, supaya orang terkesima melihatnya. Di era kosong batin sekarang, sering tingkah laku “menyimpang” itu disambut meriah dan membuat para tokohnya beken, terkenal, dan setelah itu terserah mereka ke mana tujuan aslinya diarahkan. Bisa untuk meraih kekuasaan atau kekayaan, malah gabungan dari kedua nafsu itu. Sebagai pelengkap atau gong terakhirnya, biasanya berupa perubahan tingkah laku seksual, perselingkuhan, promiscuity, persetubuhan dengan siapa saja.
Memilih pemimpin di zaman gila seperti ini tentu sulit. Akan tetapi, secara normatif, pemimpin, atau raja haruslah orang waras, tidak gila, karena dia menjadi panutan jutaan rakyat. Mungkinkah memilih raja waras dari masyarakat gila? Apakah kegiatan ini bukan satu kegilaan lainnya? Tapi, rakyat tetap ambigu. Di satu pihak sudah gila, di sisi lain masih memegang hukum lama—yang dipakai sebagai topeng. Maka, raja haruslah pertama-tama mengenakan baju model lama, sedangkan pesonanya haruslah heboh.
Kemudian diadakanlah tes kewarasan untuk para calon raja. Formalitas saja, sebab kenyataannya kini berbeda 180 derajat dengan teori, atau norma lama.
***
MENCARI raja waras dianggap masih perlu, walaupun di tengah rakyat yang “gila”. Dan, kegiatan itu menjadi upaya heboh tersendiri. Di Negeri Undur-Undur yang ikut dilanda kultur kegila-gilaan, mengadakan pemilihan raja. Rakyat tak ingin negeri jatuh di bawah telapak kaki raja gila. Mereka tak ingin rajanya nanti sinting, kenthir, atau gila penuh.
Di dunia ini, sepanjang catatan sejarah yang ada, sudah ada 13 raja atau ratu yang diindikasikan sebagai gila. Mereka adalah Geroge II dari Britania Raya, Peter III dari Rusia, Putri Alexandra Amalie dari Bavaria (Jerman), Ludwid II dari Bavaria juga, Otto juga dari Bavaria (Bavaria punya tiga tokoh sentral yang “ajaib” ini), Putri Juana dari Castille (Spanyol), Carlos II juga dari Spanyol, Charles VI dari Prancis, Alfonso VI dari Portugal, Charles IX dari Prancis juga. Selain itu ada Caligula yang suka pesta orgy, pengganti Kaisar Tiberius di masa penyaliban Isa Almasih. Ada juga Nero yang dianggap sinting karena ulahnya membakar kota Roma, selain Pangeran Vlad de Dracul yang bengis dari Pensylvania, yang menjadi inspirasi cerita Dracula. Angka II dan VI di belakang nama beberapa di antaranya cukup menarik, sebab tampaknya raja kedua dan keenam sering kejatuhan nasib sebagai tokoh yang gila, setidaknya kurang waras.
Belajar dari sejarah itu maka Negeri Undur-Undur harus berhati-hati, jangan sampai mendapatkan raja yang kenthir, slendro atau sodrun. Mereka harus berhati-hati, jangan sampai tokoh puncak itu orang yang menderita sakit jiwa, skisoprenia, psikopat, paranoid, atau setidaknya manja, kekanak-kanakan seperti Ludwig II dari Bavaria. Apa Negeri Undur-Undur mau menambah daftar itu? Tidak, kan?
Ujian pertama untuk empat calon presiden dan wakil presiden adalah matematika. Pengujinya seorang yang ramah-tamah. Ia mengacungkan “dua” jarinya kepada calon satu per satu.
“Ini berapa?”
“Tiga,” jawab seorang calon raja.
“Bagus, bagus,” begitu sang penguji, lalu bertanya pada calon lainnya. Mereka semua menjawab “tiga”.
“Satu tambah satu berapa?” tanyanya lagi dengan senyum ramah. Semuanya menjawab “tiga”.
“Bagus, bagus. Kalian cukup cerdas. Maka, kalian lulus,” ucap penguji. Seorang dokter jiwa hendak memprotes, tapi ia segera dibekap mulutnya oleh temannya sendiri.
“Aneh, padahal jarinya tadi kan tiga, ya? Dan, satu ditambah satu kan empat, ya?” bisik seorang calon raja kepada lainnya sembari cekikikan.
“Betul, betul, tiga jari, dan satu tambah satu empat,” ujar yang lain.
“Kita sepakat nggak, nanti pada tes berikutnya kita pura-pura gila saja, ya?” usul seorang.
“Setuju, setuju,” hampir semua calon sepakat untuk memperdaya penguji. Tak lama kemudian si penguji tiba dan bertanya.
“Apakah kalian gila semua?” tanyanya sengit kepada semua calon.
“Yaaa, kami semua gilaaa ...,” jawab para calon dan wakilnya serempak, tegas.
Penguji tertegun. Dia berpaling kepada dua rekannya.
“Semuanya tidak bisa maju. Mereka betul-betul gila. Saya tak akan rekomendasikan,” bisiknya.
Rekan-rekannya memberi isyarat pada dua penjaga yang berbadan besar-besar, kuat. Penguji itu digelandang dan dimasukkan ke dalam sel Gawat Darurat untuk diberi suntikan penenang. Mungkin dia akan menjadi calon pasien RSJ baru.
Cu Lucu Sehari-hari Takiya
Kartun Jitet Koestana |
Kenyataan Hidup
1. Sebuah smartphone, 70% fiturnya tak dioptimalkan
2. Sebuah mobil mewah, 70% kemampuannya mubazir
3. Sebuah villa dengan lahannya, 70% luasnya dibiarkan kosong
4. Sebuah universitas, 70% materi kuliahnya tak dapat diterapkan
5. Berlimpah kegiatan sosial masyarakat, 70%-nya tak bermakna
6. Pakaian dan peralatan dalam rumah, 70% menganggur tak terpakai
7. Seumur hidup mencari kekayaan, 70% dinikmati ahli waris
Tidak sakit juga harus check up
Tidak haus juga harus minum
Galau juga harus cari solusi
Benar juga harus mengalah
Berkuasa juga perlu merendah
Tidak lelah pun perlu istirahat.
Tidak kaya pun perlu bersyukur.
Sesibuk apa pun juga perlu berolahraga.
Jadi sadarlah, hidup itu pendek, pasti akan sampai ke garis finish juga!
Selamat Berbuka Puasa..
(Posting: Wasito Djati Pribadi)
SEMUA MEMINTA MAAF
Detik-detik mendekati bulan suci Ramadhan. Semua alat komunikasi sibuk minta maaf, di BBM, pesbuk, sms, telepon, semua orang minta maaf, sampe ATM saya juga mintaf, "Maaf Saldo Anda tidak mencukupi untuk melakukan transaksi ini".....@+)#*!!!!
(Posting: Chandra Nugraha)
PERCAKAPAN DI PASAR HEWAN
Pembeli :" Sapi ini berapa ya, Pak ??"
Penjual : " 15 juta. Sapi Bali, kuat, bisa robohin pohon kelapa.."
Pembeli :" Kalo yang putih ini...?"
Penjual : " 17,5 juta, Sapi Medan tak kalah kuat, dia bisa gulingkan truk.."
Pembeli : " Kalau yang sedang ini, brapaaa....? "
Penjual : " Kalo ini sapi import pak, harganya 1 milyar"
Pembeli : " Lho, koq Mahal amaaattt.. apa istimewanya..?
Penjual : " Dia pernah gulingkan presiden PKS.. he..he..!
(Oleh: Kumpulan Dongeng & Cerita Rakyat)
PARODI PENGEMIS YANG KAYA RAYA
Kartun Jitet Koestana |
Dua orang pengemis duduk ngobrol saling curhat.
“Bagaimana asal mulanya sampai kamu menjadi pengemis?”tanya pengemis I kepada rekannya, pengemis II.
“Aku anak yatim piatu. Aku bahkan tidak tahu siapa orangtuaku. Aku tidak punya siapa-siapa, tidak pernah sekolah, tidak punya keahlian untuk bekerja. Jadi, aku terpaksa mengemis seperti ini,”jawab pengemis II panjang lebar. “Lha, kalau kamu asalnya bisa jadi pengemis bagaimana?”
“Wah, malang nian nasibmu ya?" kata pengemis I. “Kalau aku sebenarnya berasal dari keluarga kaya raya, berdarah biru dan ternama. Nenek moyangku memang sudah kaya dari sononya. Bahkan harta mereka tidak akan habis dimakan tujuh turunan.”
“Lho? Lha kok kamu bisa jadi melarat dan jadi pengemis seperti ini bagaimana ceritanya?” tanya pengemis II
“Itulah. Sialnya, aku ini keturunan kedelapan,” jawab pengemis I sambil menitikkan air mata.
(berdasar posting: Wasito Djati Pribadi)
Citra Pemimpin - Citra Pengemis
M Djoko Yuwono |
ADA dua tema kita bahas pada tulisan ini, yakni citra pemimpin dan citra pengemis. Simak!
A. Citra Pemimpin
Langkah heroik ditunjukkan oleh sang pemimpin dari Republik Undur-Undur. Ia meminta maaf kepada dua negara tetangganya karena mengirimi dua negara itu kabut asap. Alih-alih mengkritik peran perusahaan swasta asal dua negara tetangganya itu, sang pemimpin malah ‘memarahi’ para menterinya yang sudah pasang dada mengecam dua negara yang tidak pernah ramah pada Republik Undur-Undur ini.
Negara Singaparah dituduh cuma pandai memanfaatkan kelemahan Republik Undur-Undur. Padahal, menurut kabar, 85% ekspor negeri itu berasal dari Republik Undur-Undur yang naif (kalau tidak bisa disebut bodoh). Jadi, hidup negara Singaparah tergantung pada Republik Bodoh, eh, Negeri Undur-Undur ini. Wisatawan Republik Undur-Undur yang sok, lebih suka menghabiskan liburan di negeri yang suka menyimpan koruptor, bajingan, dan garong dari negerinya tanpa mau meratifikasi perjanjian ekstradisi. Wisatawan yang sekadar banyak duit ini mejeng dan pasang fotonya di facebook untuk pencitraan dirinya sebagai orang kaya.
Negeri Malangsia juga negeri yang pintar mengakali negeri besar yang bodoh, eh, Negeri Undur-Undur ini, dengan mengakali investasi, mencaplok produk seni budaya, dan mengomersialkannya. “Bodohnya, orang-orang Negeri Undur-Undur itu tak mampu menjual produk seni budayanya ke luar negeri,” begitu celoteh di negeri itu.
Langkah heroik sang Pemimpin Republik Undur-Undur disambut sinis di dalam negeri. “Tak usah minta maaf, cukup kasih instruksi untuk mengatasi asap, sudah,” ujar Dul Kemplo. Dia bilang, kalau minta maaf maka kelihatan bodohnya, eh, kelemahannya. Di tangan orang Yahudi yang jadi supervisor Singaparah, permintaan maaf bisa untuk menekan Republik Undur-Undur buat membayar ganti rugi. Duit dari mana? Sedangkan untuk dana BLSM alias Balsem cap Citra saja sempoyongan.
Permintaan maaf itu muncul mungkin khawatir citranya sebagai pemimpin yang memperoleh berbagai penghargaan dunia lantas luntur. Tapi, para pendiri bangsa, terutama Bung Karno, pasti marah besar karena sikap seperti itu menurunkan derajat bangsa. Indonesia dibangun untuk menjadi bangsa yang bermartabat, berwibawa, berdaulat, bukan negara bermental tikus dan bertekuk lutut di depan bangsa lain.
B. Citra Pengemis
Entah kenapa tiba-tiba saja muncul berita yang menghebohkan dari Jakarta (Selatan). Pejabat setempat bilang pengemis di wilayah ini ada yang berpenghasilan Rp750.000 hingga Rp1 juta per hari. Bayangkan, setiap bulan mereka mendapatkan kira-kira Rp30 juta! Di bawah itu ada yang Rp450.000 hingga Rp500.000 per hari. Gaji eksekutif perusahaan besar lulusan S-1 atau S-2 yang diraih dengan susah-payah selama bertahun-tahun dengan waktu, biaya, tenaga, dan pikiran yang begitu banyak paling cuma Rp16 juta.
Sudah lama diketahui, a.l. berkat investigasi wartawan SKH Pos Kota di awal tahun 80-an dan SKH Suara Karya di pertengahan era 80-an, para pengemis Jakarta kaya raya, punya rumah mewah dan sawah luas di kampung halamannya.
Pengemis menjual citra sebagai orang melarat, tidak berdaya, dan berhasil mengelabui publik lantas hidup sejahtera. Ini mirip Pemimpin yang menjual citra sebagai santun, anggun, intelektual, baik hati tapi (maaf) mungkin naif sebagai “pemain lapangan”, dan berhasil hidup sejahtera. Jangan-jangan ini mengandung unsur mental pengemis yang lemah, tidak bermartabat dan tak punya harga diri, asal hidup sejahtera.
Itu baru teori orang ngawur, sebab perlu pembuktian pada saatnya nanti. Bukan sekarang, sebab akan ada yang tersinggung, dan bakal gawat, wat, wat. Oke?
Menemukan Adab Indonesia
Oleh Radhar Panca Dahana |
Sebagian
dari amatan itu juga mencoba melihat, mempelajari, atau bahkan meneladani
bagaimana bangsa-bangsa lain memperadabkan dirinya. Beberapa bangsa/negara,
yang sebelumnya justru belajar dari kita, dijadikan acuan.
Dalam
pergaulan internasional, semangat koreksi diri adalah hal yang wajar. Namun,
apa pun hasil amatan dan analisis itu tetap meninggalkan pertanyaan dasar
yang—pada akhirnya—menentukan pertanyaan dan jawaban berikutnya: apa dan
bagaimana kita melihat diri sendiri, dan akhirnya juga melihat orang lain?
Semua
kecenderungan mental dan perilaku manusia yang destruktif dan instingtif
primitif sesungguhnya bukan milik spesifik bangsa kita. Logika psikososial dan
psikokultural semacam ini sebenarnya sudah umum dipahami. Setiap bangsa punya
riwayat kekerasan manusia, perilaku negatif yang bahkan kadang begitu
mengerikan. Adab keras dan negatif adalah sisi lain dari mata uang kebudayaan:
di mana pun dan kapan pun.
Persoalannya
tinggal bagaimana (produk) kebudayaan positif dapat jadi penyeimbang atau
alat/mekanisme untuk mencegah, menanggulangi, atau memberi sanksi bagi
negativitas destruktif di atas. Tak bisa dielak, bangsa Indonesia juga memiliki
warisan kekerasan yang merusak. Namun, harus diakui juga, bahkan di tingkat
kekerabatan (komunitas) terkecil, sebenarnya bagian-bagian dari bangsa ini
memiliki alat dan mekanismenya masing-masing menghadapi kecenderungan negatif
dan destruktif tersebut.
Tuntutan
material dan lupa diri
Karena itu,
taklah elok jika kita melihat kedegilan manusia Indonesia sekarang dari faktor
intrinsik alamiahnya saja. Jika dengan jernih dan jujur kita identifikasi, di
tingkat pertama penyebab dari semua kekerasan, tindak negatif dan destruktif
sebagian dari saudara-saudara kita itu sebenarnya ada pada tuntutan (kebutuhan)
material yang kian besar dan menekan. Situasi psikologis dari adab modern
inilah yang ada di balik korupsi, manipulasi, kolusi, perampokan, pembunuhan,
penjarahan, hingga kekerasan institusional (baik negara maupun non-negara).
Bahkan pada beberapa tindakan super-ekstrem seperti separatisme atau terorisme.
Tentu ini
bukan simplifikasi yang meniadakan beberapa faktor non-material, seperti
ideologi, agama, dan adat-tradisi. Namun, tanpa kelindan faktor material di
atas, kondisinya tak akan mencapai tingkat kerumitan dan kesulitan setinggi apa
yang terjadi saat ini. Faktor atau tuntutan material di sini dapat ditegaskan
bermuara pada persoalan finansial, dasar ekonomi dari mulai tingkat personal
hingga komunal atau institusional.
Setiap orang
di negeri ini, terutama di daerah urban, sub-urban dan sekitarnya, setiap hari
disodori tawaran-tawaran mencengangkan dari gaya hidup yang berkembang saat
ini. Dengan semua tawaran yang tak terbendung oleh tanggul moral (agama, adat,
hukum, dan lain-lain) itu sesungguhnya telah menguras lebih separuh dari
penghasilan rutin kita.
Katakanlah
dari penggunaan telepon. Jika dahulu cukup hanya satu telepon dari Telkom, kini
satu keluarga bisa memiliki 10, yang semua dibayar oleh orangtua penghasil
uangnya. Dengan angka ajaib 175 juta pelanggan seluler, puluhan triliun kita
habiskan setiap tahunnya hanya untuk pulsa dari miliaran SMS, yang sebagian
besar tidak produktif.
Mereka yang
kaya raya mengganti mobilnya setiap tahun (bisa beberapa kali), yang menengah
mengganti televisi atau stereonya, yang lebih bawah mengganti telepon seluler,
busana, atau sandalnya beberapa kali dalam setahun. Bayangkan juga konsumsi
produk-produk impor, barang dan jasa yang harganya berlipat-lipat dari nilai
produksinya.
Tidak
mengherankan jika kita sampai kehilangan peluang Rp 26,42 triliun lebih dari
bisnis buah, atau hilang 2,34 juta lapangan kerja karena kegilaan kelas
menengah-atas pada buah dan sayuran impor. Tak mengherankan pula jika kita
adalah negara unggul dalam akses pelbagai media sosial global. Juga tak
mengherankan lebih banyak turis kita pergi ke satu negara ketimbang sebaliknya.
Mengapa kita
begitu lupa diri? Tampaknya semua itu bukti kegagalan kita, sebagai bangsa dan
negara, menyiapkan modal mental dan kultural yang tangguh untuk menghadapi
kekuatan yang mengglobal itu. Harus diakui, ini bukan kegagalan di tingkat
sub-sistem atau etnik, tapi kegagalan di tingkat nasional, sebagai universe
dari lokal-lokal yang ada.
Sebagai
bangsa, juga negara sebagai obligor utama, kita belum berhasil membangun
dasar-dasar moral, nilai, dan peradatan—juga peradaban—yang membuat tiap warga
negara tahu bagaimana merespons semua infiltrasi dan intervensi kultural di
atas. Bahkan untuk soal sepenting ini kita serahkan kepada pasar.
Adab
Indonesia
Untuk
mengatasinya, negara melalui pemerintah patut menjadi inisiator utama dan
pertama. Kementerian Informasi, bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan,
misalnya, dapat menyebarluaskan tentang nilai-nilai utama hingga praksisnya
dari budaya hidup di alam posmodern ini. Dari melihat nilai guna sebuah barang
dan jasa, cara dan pola konsumsi, keuntungan dan kerugiannya, cara berkonflik,
kesantunan dalam bersosialisasi, hingga berlalu lintas.
Ini beban
kerja lintas sektoral/kementerian. Setiap kementerian mengeluarkan semacam kode
etik yang bisa berlaku umum. Persoalan ini harus diatasi dan diselenggarakan
secara komprehensif di mana semua instansi terlibat.
Di bagian
utama, kebudayaan, kementerian yang membawahinya mesti segera menemukan atau
mengidentifikasi nilai-nilai utama dari adat dan istiadat lokal kita yang dapat
dipekerjakan secara nasional/universal. Lalu, biarkan publik memprosesnya
secara alamiah melalui proses akulturasi yang sudah mereka kukuhi sejak lama,
untuk menjadikan semua itu sebuah kultur dan adab baru: kultur dan adab
Indonesia, yang (maaf!) memang belum kita miliki.
Radhar Panca
Dahana Budayawan (Kompas, Senin, 26 Desember 2011).
Mabuk BBM
M Djoko Yuwono |
Oleh Ki Jenggung
JAMUAN makan malam resmi di Istana. Presiden mengangkat gelas toast dengan tamunya, Presiden Prof. Dr. Dracula, MM, MSc. Tamu menikmati makanan junk foods dari gerai makanan waralaba asing.
“Tuan Presiden, saya lihat ada ribut-ribut demo, ada apa gerangan?” tanya si tamu usil itu, Prof. Dr. Dracula, MM.
“Ah, riak kecil menjelang pengumuman penaikan harga BBM,” jawab tuan rumah, tak peduli.
“Lho, saya dengar itu sudah sebulan lebih didiskusikan ke sana ke mari dengan DPR, pers, perguruan tinggi, dan dukun-dukun, kok baru sekarang diumumkan?”
“Itu taktik saya mengulur waktu buat cari utangan dari luar negeri untuk dana kompensasi.”
“Berapa puluh juta orang melarat yang akan Anda santuni?”
“Cuma 15,5 juta rakyat miskin di negeri kami, mereka akan kami bagi duit masing-masing Rp150 ribu selama empat bulan.”
“Are you crazy, Mr. President?” pekik si tamu, “dengan mengulur waktu pengumuman, Anda sudah membiarkan harga liar membubung, dan berhutang lagi adalah sebuah perbuatan amoral, di luar akal. Kenaikan harga BBM akan menghapus semua prestasi Anda selamanya. Anda akan dikenang sebagai presiden yang lemah, lambat, tidak jantan, bikin sengsara rakyat di masa akhir jabatan Anda. Anda akan dihujat rakyat seumur hidup Anda sebagai pengecut besar!”
“Betulkah?”
“Damned right Mr. President, please be wise.”
***
TERLIHAT seorang pria gendut tinggi masih mengenakan tuxedo naik ojek menyelip-nyelip di antara kendaraan yang masih memadati jalan ibukota di malam itu. Di belakangnya staf kepresidenan tergopoh-gopoh memburunya pakai ojek juga. Malam itu ada serombongan pengendara sepeda motor aneh, menyelip-nyelip bererotan, kata orang Betawi.
Tiba di stasiun TV nasional, ia bertemu Menteri Energi dan Sumber Daya Geblek (ESDG), Menko Ekonomi, Keuangan, dan Kekurangan yang baru saja mengumumkan kenaikan harga premium dari Rp4.500 menjadi Rp6.500, solar menjadi Rp5.500.
“Gila! Harga premium ketinggian, itu! Kendaraan angkot masih banyak yang pakai, nanti tarifnya terlalu tinggi, kasihan rakyat, kan? Masih banyak orang melarat tulen, terutama pensiunan wartawan yang naik motor rombeng,” dampratnya.
Pria ber-tuxedo itu lantas menyerobot masuk dan minta siaran langsung.
“Ehm, ehm dengan ini saya sebagai presiden mengumumkan penaikan harga BBM dibatalkan.”
Para menteri yang barusan mengumumkan penaikan harga BBM terbengong-bengong. Para pembantu, staf khusus dan staf jadi-jadian asal ada honor terengah-engah tiba di stasiun TV, hampir pingsan semua.
“He! Kenapa Pak Presiden jadi begitu?” tanya para menteri yang jadi korban ditidakjelasan.
“Maaf, Pak. Barusan ada konfirmasi dari rumah tangga kepresidenan bahwa gelas toast untuk presiden dan tamu negara tertukar. Yang berisi vodka justru ditenggak presiden kita, sedangkan yang berisi air mineral ditenggak presiden tamu,” kata jubir presiden terengah-engah kehabisan napas, sembari minta minum.
“Tapi, pembatalan itu baik untuk rakyat, kan?” bisik seorang menteri.
“Itulah celakanya, keputusan negeri ini tampaknya baru benar dan tepat bagi rakyat kalau dikeluarkan dalam keadaan mabuk.”
***
BERUNTUNGLAH saudara-saudari, kejadian kocak itu bukan di Indonesia, melainkan di Negeri Undur-Undur, tanah air kelahiran Ki Jenggung dan Ki Sruntul.
Naratologi Kekuasaan
Oleh Acep Iwan
Saidi
|
Tulisan ini
diinspirasi dua narasi. Pertama, narasi Roland Barthes dalam bukunya,
Mythologies, tentang berbagai adegan kekerasan dalam film gangster. Kedua,
narasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang perombakan Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid 2 beberapa waktu lalu. Terdapat dua hal yang mirip pada keduanya:
soal bagaimana dunia dipersepsi para pelakunya.
Dalam
film-film gangster, tulis Barthes, seorang perempuan cantik dapat dengan tenang
meniupkan asap rokok ke wajah orang yang hendak menyerangnya. Istri seorang
gangster bisa dengan terus merajut kain di tengah-tengah kekacauan, dalam
kecamuk suara pistol yang, bagi penonton, sangat mengerikan.
Bagi para
gangster, kekacauan adalah hal biasa. Realitas di luar diri adalah sesuatu yang
terpisah. Dalam kegangsteran diri menjadi steril, tak ada masalah, semua bisa
berjalan biasa-biasa saja.
Sementara
itu, dalam narasi perombakan kabinet oleh SBY, melalui layar televisi
setidaknya kita menonton empat adegan. Pertama, pemanggilan tokoh yang
didefinisikan pemerintah sebagai ”yang kredibel” ke rumah pribadi SBY di
Cikeas.
Kedua,
pernyataan sikap beberapa calon menteri terpilih sehari sebelum diumumkan
secara resmi. Ketiga, pembacaan pengumuman oleh Presiden SBY. Keempat, upacara
pelantikan dan pengangkatan sumpah pejabat.
Keempat
adegan itu mengalir dan mengalur dalam suasana yang sama: berlangsung dengan
ceria. Pada adegan pertama, misalnya, tampil beberapa sosok dengan wajah penuh
pesona, tersenyum, dan melambaikan tangan di ujung kamera. Pada adegan kedua,
kecuali Dahlan Iskan, semua bahagia dan tentu saja mengucap syukur.
Pada adegan
ketiga, Jero Wacik bahkan merasa perlu nonton bersama keluarga menyaksikan di
depan kamera pengumuman untuk para pemenang kuasa sebelum kemudian bertempik
sorak atas kemenangan dirinya. Terakhir, adegan keempat, adalah sebuah panorama
tentang bagaimana roh kuasa ditiupkan di bawah panji keagungan Tuhan (kitab
suci yang diangkat ke atas kepala pada sumpah jabatan). Seperti tiga adegan
sebelumnya, adegan ini pun penuh senyum, tentu saja senyum lebih formal.
”Mal” tanpa
jendela
Kecuali
keceriaan sedemikian, tak ada yang luar biasa pada semua adegan itu. Semua
berjalan indah, padahal lakonnya dipentaskan dalam situasi ”gawat darurat”. Ini
berarti bahwa lakon itu berbanding lurus dengan film gangster. Keduanya
sama-sama berada di dalam sebuah ”studio narasi” sehingga terpisah dari
realitas.
Jika narasi
gangster merupakan ”realitas baru” yang dilahirkan sebagai representasi dari
realitas sebenarnya, narasi kuasa adalah realitas dalam ”mal” tanpa jendela,
tempat di dalamnya orang lupa pada realitas di luar gedung.
Seperti
dalam narasi gangster yang tokoh-tokohnya harus selalu bertempur, saling serang
meniadakan lawan, narasi kuasa juga menempatkan pemangkunya terus-menerus dalam
situasi bahaya. Perombakan kabinet kemarin pada hemat saya terjadi lebih karena
”kekacauan di dalam” akibat berbagai pertempuran hingga berujung pada
keputusan: ada yang harus ”diselamatkan” di satu sisi dan ”dicelakakan” di sisi
lain.
Sebagai
penonton, yang tentu saja melihat dari arah depan layar, kita menyaksikan
keanehan- keanehan yang dirasionalkan. Kita mengikuti jalan ceritanya sehingga
dengan begitu kita bisa menerima—paling tidak untuk sementara—perasionalan itu.
Kita
memaklumi dengan mengurut dada sebelum kemudian menarik simpulan: demikianlah,
dalam narasi kuasa para tokoh harus memainkan perannya. Pertanyaannya, mengapa
narasi penuh bahaya itu didambakan? Bagi sebagian orang, menjadi gangster
adalah sebuah pencapaian. Tak semua orang berani dan bisa melakukannya. Menjadi
gangster adalah prestasi tersendiri. Gangster adalah sebuah dunia tempat
kekuasaan menunjukkan wujudnya dengan sangat eksplisit.
Hal ini
lagi-lagi berbanding lurus dengan narasi kuasa: bagaimana kekuasaan dalam dunia
politik memberikan posisi kepada para pelakunya. Kursi kuasa (jabatan politik)
adalah representasi dari prestasi. Dipanggil untuk menduduki sebuah kursi kuasa
berarti diposisikan sebagai yang mumpuni.
Ketika kursi
kekuasaan dipersepsi sebagai pahala dari prestasi, jelas kekuasaan (jabatan)
menjadi ruang lain yang berbeda dengan realitas. Jabatan adalah realitas
prestasi yang ”dibendakan”. Itu sebabnya, para tokoh yang di- minta menduduki
jabatan kuasa terjebak pada keyakinan bahwa jabatan yang diberikan kepada
dirinya adalah untuk dirinya yang ”dianggap mumpuni” itu.
Kekuasaan
telah menariknya dari ”realitas comberan”, khalayak yang tak berprestasi.
Akibatnya, tak pernah ada yang menolak jabatan yang ditawarkan SBY. Ketimbang
menolak, orang yang ditawari malah mensyukuri, menyambut dengan tepuk tangan
anggota keluarga juga. Untuk orang tertentu, ketika musim pembentukan kabinet
baru tiba, panggilan dari istana adalah sesuatu yang sangat ditunggu.
Naratologi
gangster
Padahal,
kursi kuasa mestinya tak dipersepsi demikian, tetapi harus diposisikan sebagai
”jembatan” yang menghubungkan penguasa dengan rakyat banyak. Kursi kuasa harus
berdiri di tengah-tengah khalayak sebagai perekam suara kompleksitas. Maka,
kekuasaan adalah alat, bukan tujuan. Para pemangku kuasa harus menggunakan kekuasaan
sebagai alat memfasilitasi suara bersama, bukan sebaliknya: diperalat kekuasaan
menjadi budaknya sehingga ia hanya berpikir tentang diri sendiri, bukan
kepentingan khalayak.
Dalam
konteks itu, ketika seorang individu dipanggil dari kerumunan untuk menduduki
sebuah jabatan, mestinya ia melakukan refleksi: mampukah ia menjadikan
kekuasaan sebagai jembatan khalayak? Kemampuan ini tak bisa diukur diri
sendiri, tetapi harus berdasarkan pertimbangan khalayak jua.
Itu berarti,
ketika diangkat jadi menteri, misalnya, ia harus segera membuka diri dan
”bertanya kepada khalayak”. Walhasil, kursi kuasa yang diberikan bukan sebuah
pahala yang harus disyukuri dengan segera, apalagi disambut tepuk tangan. Ia
justru awal dari sebuah proses perjuangan menjadi ”jembatan”.
Jika lulus
hingga di ujung jembatan, artinya mampu mengemban amanah sampai akhir jabatan,
barulah ia berhak bersyukur. Jika tidak, di tengah jalan ia harus berani
mengundurkan diri. Pengunduran diri pejabat yang diminta khalayak atau yang
disebabkan oleh pengakuan diri adalah prestasi moral yang harus disyukuri juga.
Situasi itu
tampaknya tak pernah terjadi dalam konstelasi politik dan kekuasaan di negeri
ini. Di sini, sekali lagi, jabatan dipersepsi sebagai anugerah, penghargaan
atas kemampuan diri. Kekuasaan berpusat pada diri, bukan khalayak. Alih-alih
jadi corong khalayak, ia malah memperalat khalayak demi kelanggengan kuasanya.
Walhasil, naratologi politik dan kekuasaan kita identik dengan naratologi
gangster.
Acep Iwan
Saidi Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD-ITB (Kompas, Kamis, 1 Desember 2011).
Subscribe to:
Posts (Atom)